Arti Bid'ah

By | 7:33 PM Leave a Comment
Imam Ath-Thurthusyi dalam Al-Hawadits wal-Bida' berkata, "Kata bid'ah berasal dari kata al-ikhtira' yaitu sesuatu yang baru diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya" .[Lisan Al- 'Arab(IX/351), Maqayis Al-Lughah (1/209), (hnAl-QamusAl-Muhith: 906.] Di antara yang masuk dalam katagori ini adalah firman Allah,

"Allah adalah Pencipta langit dan bumi." (QS. Al-Baqarah: 117).

(Artinya, bahwa Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, pent.).

Demikian pula firman-Nya,

"Katakanlah: 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul." (QS. Al-Ahqai: 9).

Artinya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bukanlah seorang rasul yang pertama kepada penduduk bumi ini.

Dan masuk dalam katagori bid'ah ini adalah, "sesuatu yang diperbuat oleh hati, dikatakan lisan, dan dilakukan anggota badan. "[Lihat: halaman 40 terbitan Dar Ibrnil Jauzi. Damam, dengan tahqiq saya.]

Arti bid'ah seperti ini dinukil oleh Imam Abu Syamah Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Ba 'its 'Ala InkarAl-Bida' wa Al-Hawculits (hal 20) ialah sebagai berikut, "Kata bid'ah jika disebutkan secara mutlak, maka maksudnya adalah perkara baru yang tidak baik yang ada dalam agama. Dan yang seperti itu adalah kata mubtadi' (ahlu bid'ah). Dimana kata ini tidak digunakan kecuali dalam celaan. Tetapi dari sisi akar kata, maka bid'ah dapat dikatakan untuk sesuatu yang terpuji dan yang tercela. Sebab yang dimaksud dengan bid'ah secara bahasa adalah, sesuatu yang baru dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Karena itu, dikatakan kepada sesuatu yang sangat indah, "Dia itu bid'ah".

Al-Jauhari dalam Shihah Al-Lughah berkata, "Badi', mubtada' dan bid'ah, adalah hal baru dalam agama setelah agama dinyatakan sempurna."

Dengan demikian maka, defininsi bid'ah adalah, "Cara baru dalam agama yang dibuat untuk menyerupai syari'at dengan maksud untuk melebihkan dalam beribadah kepada Allah."[Lihat, Mi'yar Al-Mu'rib (1/352 ilan 358) oleh wansyarisyi.]

Imam Syathibi dalam Al-I'lisham (1/37) juga memilih definisi bid'ah seperti itu. Dan definisi tersebut adalah yang paling komprehenshif di antara beberapa definisi bid'ah.

Kemudian Imam Asy-Syatibi menjelaskan definisi bid'ah tersebut dengan panjang lebar yang intinya sebagai berikut,

"Ungkapan 'cara baru dalam agama' itu maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari'at. Sebab dalam agama terdapat berbagai cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari'at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari'at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam katagori bid'ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari'at.

Artinya, bid'ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari'at.[Lihat, Mu'jamAl-ManahiAl-Lafdziyyahy. 304.] Sebab bid'ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari'ah.

Ungkapan "menyerupai syari'at" sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada- adakan dalam agama itu pada hakikatnya tidak ada dalam syari' at, bahkan bertentangan dengan syari'at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari' at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari'at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan "untuk melebihkan dalam beribadah kepada Allah", adalah pelengkap makna bid'ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid'ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan dalam firman-Nya, " Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. "[QS. Adz-Dzari'at: 56.] Seakan-akan orang yang membuat bid'ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid'ah adalah untuk ibadah sebagaimana dimaksudkan ayat tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari'at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia melebih-lebihkan dan menambahkan.

Saya berkata, "Juga terdapat definisi lain tentang bid'ah, yaitu: Sesuatu yang diadakan dan menyalahi kebenaran yang datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik tentang ilmu, amal atau sifat, disebabkan kerancuan pemahaman atau menganggap baik kepada sesuatu dan dijadikannya sebagai agama yang kokoh dan jalan yang lurus. "[Yaitu pendapat Asy-Syaumani yang dinukil oleh Al-'Adawi dalam Ushutfil Bida': 26.]

Dan Al-Fairuz Abadi dalam BashairDzawi Al-Tamyiz (II/ 231) berkata, "Bid'ah adalah hal baru dalam agama setelah agama disempurnakan." Dan dikatakan, "Sesuatu yang diadakan setelah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal-lam wafat baik berupa ucapan maupun perbuatan." Bentuk jama'nya adalah bida'. Dan dikatakan pula, bahwa bid'ah adalah bentuk ucapan atau perbuatan, yang pengucap atau pelakunya tidak mengikuti pemilik syari'at dan huj-jah-hujjahnya yang berlaku serta pokok-pokoknya yang telah dikodifikasikan dengan teratur. Dan hal yang sama juga disebutkan Al-Abadi dalam Al-Qa-mus (halaman 906).

Dengan ketetapan di atas maka Anda mengetahui kesalahan orang yang mengatakan, bahwa bid'ah adalah "suatu perbuatan yang belum ada pada tiga abad pertama dan tidak terdapat dasarnya dalam empat sumber hukum [Iqamah Al-Hujjah "AlaAnnaAl-lkisarMinana'AbudiLaysabiBid'ah: 12, AI-Laknawi.] (Al Qur'an, Hadits, Ijma' danQiyas)."

Barangsiapa yang Mengerjakan Amalan yang tidak ada Keterangan dari Kami maka Dia Tertolak.

Demikianlah ketetapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap segala bentuk bid'ah.[Lihat. Ittiba' As-Sunan wa Ijtinab Al-Bida': 33-34.]

Syaikh Al-AlbanidalamIrwa' Al-Ghalil(nomor 88) berkata, "Hadits ini adalah kaidah besar dari beberapa kaidah dalam Islam dan merupakan penjelasan singkat tetapi maknanya padat yang disampaikan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sebab hadits ini sebagai dalil yang sangat jelas tentang tertolak dan batalnya segala bentuk bid'ah dan hal-hal yang baru. "[Lihat. Syarah Shahih Muslim: Xfl/16.]

Imam Syaukani dalam Nailul Authar (H/69-70) berkata dalam menjelaskan hadits tersebut, "Yang dimaksud dengan kata "amr" dalam redaksi: "laisa 'alaihiamrwia", adalah bentuk tunggal dari kata "Al-umur".[Sebagai peniadaan pendapat yang mengatakan bahwa kata "amr" di sini merupakan bentuk tunggal " Awa-mir"] Artinya, sesuatu yang tidak dilaksanakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, sedang kata "radd" adalah mashdar dengan arti isim maf'ul: "mardud", artinya, "tertolak".

Hadits ini adalah salah satu kaidah dalam agama. Sebab di dalamnya masuk beberapa hukum yang tidak terhitung. Dan betapa jelasnya hadits ini sebagai dalil tentang batalnya pendapat ulama fiqh yang membagi bid'ah kepada lima bentuk bid'ah sesuai jumlah hukum syar'i, seperti bid'ah wajib, bid'ah sunnah, bid'ah haram, dan seterusnya. Maka hendaknya demikian itu menjadi perhatian Anda.

Dalam Fathul-Bari disebutkan, "Hadits ini merupakan pokok dan kaidah dasar dalam Islam. Sebab arti hadits tersebut adalah, "Barangsiapa melakukan hal baru dalam agama yang tidak berdasarkan dalil-dalil agama maka tidak boleh diperhatikan."

Imam Nawawi berkata, "Hadits ini merupakan dalil yang harus diperhatikan dan digunakan untuk membatalkan berbagai kemunkaran dan hendaklah menyebarluaskan hadits ini dalam penggunaan dalil."[Syarah Muslim: XII/16]

Ath-Thukhi [Lihat Ushutfil Bida': 105, Al-Adawi menyebutkan dengan nama At-Thufi, barangkali ini yang benar] berkata, "Hadits ini layak untuk disebut sebagai separuh dari berbagai dalil syar'i. Sebab dalil ini terdiri dari dua premis. Karena yang dituntut dalam dalil, yaitu menetapkan hukum atau menafikannya. Dan hadits ini adalah premis besar yang menetapkan setiap hukum syar' i dan menafikannya. Sebab yang tersurat dalam dalil ini adalah premis universal. Seperti dikatakan tentang wudhu dengan air najis, "Ini bukan dari perkara syar'i, dan setiap amal yang demikian tertolak, maka amal itu tertolak". Dimana premis kedua menjadi kuat dengan dalil ini, sedangkan perselisihan adalah dalam premis pertama.

Adapun yang tersirat dalam hadits itu adalah, bahwa orang yang mengerjakan amal yang ada perintah syari' maka amal itu benar. Jika disepakati adanya hadits yang menjadi premis pertama dalam menetapkan setiap hukum syar' i dan menafikannya niscaya kedua hadits independen dengan semua dalil syar'i. Tetapi permis yang kedua tidak ada, maka hadits ini merupakan separuh dari dalil-dalil syar' i."

Syaikh Ali Mahfudz dalam Al-Ibda 'fi MadharAl-Ibtida' (hal 45) berkata, Kata "sesuatu" dari redaksi, "Sesuatu yang tidak termasuk dari urusan kami", adalah mencakup ucapan, perbuatan dan keyakinan. Sebab "sesuatu" disini dalam bentuk umum. Jadi segala sesuatu yang tidak ada pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga tidak di dukung kaidah universal dan dalil umum [Tentang dalil umum ini akan dijelaskan secara terperinci pada bab Tuntunan Salaf] maka harus dinafikan, yaitu sesuatu yang disebut "bid'ah."

Sebagaimana redaksi "Siapa yang mengerjakan amal" juga menunjukkan arti umum. Sebab kata "amal" disebutkan dengan bentuk nakirah (in-definitif), dan tidak disebutkan: "Siapa yang mengerjakan demikian atau demikian". Maka hadits ini menjadi pedoman besar yang dijadikan pegangan oleh para ulama dan dipopulerkannya dalam menafikan setiap amal yang tidak sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.[Isyraqah Asy-Syur'ah: 82]

Dan telah kami jelaskan sebelumnya bahwa bid'ah tidak berlaku dalam lima hukum syar'i, tetapi kami keluarkan tiga dari lima itu sehingga yang tersisa adalah makruh dan haram. Dengan demikian, maka bid'ah terbagi menjadi dua bagian: bid'ah haram dan bid'ah makruh. Jadi bid'ah itu masuk dalam katagori hal-hal yang dilarang dan tidak keluar dari makruh atau haram. Ini yang pertama.

Kedua, jika kita cermati makna bid' ah maka kita dapatkan bahwa bid'ah beragam tingkatannya. Di antaranya ada bid'ah yang sampai pada tingkat kekafiran yang nyata, seperti bid'ah jahiliyah yang diperingatkan dalam Al-Qur'an. Demikian pula bid'ah orang-orang munafik yang menjadikan agama sebagai tameng untuk melindungi nyawa dan harta.[Sayangnya sikap orang-orang munafik seperti ini dilakukan oleh sebagian manusia pada masa kita sekarang. La Haula u ala Quwwata lila billah] Juga ada bentuk-bentuk bid'ah lain yang tidak diragukan lagi sebagai bentuk kekafiran yang nyata.

Dan di antara bid'ah, ada yang dalam tingkatan maksiat tetapi tidak sampai kafir, atau diperselisihkan tentang sampai dan tidaknya kepada kekafiran. Seperti bid'ah yang dilakukan kaum Khawarij, Qadariyah, Murji'ah, dan orang-orang yang serupa dengan mereka dari kelompok-kelompok yang sesat.

Juga terdapat bid'ah yang masuk dalam katagori maksiat, dan para ulama sepakat bahwa bid'ah tersebut tidak sampai jatuh dalam bentuk kekafiran. Seperti bid'ah shalat sunnah semalam suntuk, puasa dengan berdiri di terik matahari, dan mengebiri untuk memutuskan nafsu seks.

Di antara bentuk bid'ah. ada bid'ah yang makruh,[Bahkan bid'ah haram karena masuk dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu Alaihi wti Sdllain "Setiap bid 'ah adalah sesat dan setiap yang sesat ilalam neraka." Dan akan disebutkan pada bab berikutnya tentang pernyataan Imam Asy-Syathtbi bahwa bila beliau menyatakan makruh, maka yang dimaksudkan ada lah haram. Dengan demikian maka tidak ada masalah] seperti membaca Al Qur'an dengan berjama'ah secara koor.[Lihat komentar saya dalam syarah kitab Al-Hawadits wal Bida': 161] berkumpul untuk berdo'a pada sore hari' Arafah, bersama-sama menyebut nama para penguasa dalam kliut-bah Jum'at. demikian itu seperti yang dituturkan Abdussalam yang ber-madzhabSyafi'i, dan lain-lain.

Dengan demikian, maka kita mengetahui bahwa bentuk-bentuk bid'ah tidak dalam satu tingkatan. Tetapi juga tidak benar bila mengatakan bahwa bid'ah hanya dalam satu hukum, seperti hanya makruh atau haram saja.

Ketiga, bahwa maksiat ada yang kecil dan juga ada yang besar. Dan hal itu dapat diketahui apakah maksiatnya dalam hal-hal yang primer, sekunder atau tersier. Jika suatu maksiat berkaitan dalam masalah primer maka ia termasuk ke dalam dosa besar. Dan jika dalam masalah tersier, maka ia pun ke dalam dosa yang paling ringan. Sedang maksiat yang termasuk dalam masalah sekunder, maka dosanya berada di tengah antara dua tingkatan di atas.

Sesungguhnya setiap tingkatan terdapat pelengkapnya. Tentu, tidak mungkin bila yang melengkapi berada dalam satu tingkatan dengan yang dilengkapi. Sebab yang melengkapi dengan yang dilengkapi bagaikan sarana dengan tujuan, dimana sarana tidak akan sampai kepada tingkatan tujuan. Dengan demikian, tampak jelas tentang adanya perbedaan tingkatan dalam maksiat dan pelanggaran.

Kemudian jika direnungkan, dalam hal-hal yang primer pun terdapat tingkatan-tingkatannya. Sebab tingkatan nyawa tidak sebagaimana tingkatan agama. Orang kafir boleh dibunuh ketika berperang. Dan untuk menjaga agama diperbolehkan mengorbankan jiwa sampai meninggal dalam memerangi orang-orang kafir dan orang-orang yang merusak agama.

Lalu tingkatan akal dan harta juga tidak sama dengan tingkatan nyawa. Dimana Islam membolehkan qishash akibat adanya pembunuhan. Demikian juga yang lainnya.

Sebab jika kita renungkan tingkatan nyawa, maka di sana kita dapatkan berbagai tingkatan. Dimana memotong salah satu anggota tubuh tidak seperti menyembelih, dan melukai tidak sebagaimana memotong anggota badan. Dan penjelasan semua itu ada dalam kitab Ushul Fiqh.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa bid'ah itu adalah bentuk kemaksiatan yang memiliki tingkatan-tingkatan seperti halnya tingkatan-tingkatan dalam maksiat. Artinya, di antara bid'ah ada yang masuk dalam hal-hal primer, ada yang masuk dalam masalah sekunder dan juga ada yang masuk dalam tingkatan tersier. Dan bid'ah yang masuk dalam tingkatan primer ada yang dalam masalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.[Al-I'tisham. II/36-39]

Imam Syathibi berkata, "Jika telah nyata bahwa bentuk-bentuk bid'ah itu tidak dalam satu tingkatan dalam celaan dan larangan, tetapi ada yang makruh [Bandingkan hal ini dengan catatan kaki No. 2 hlm. 11] dan juga ada yang haram, maka sesungguhnya kesesatan dalam bid'ah mencakup berbagai bentuk kesesatan sebagaimana ditegaskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Setiap bid'ah adalah sesat" .[Al I'tisham: II/49]

Syaikli Al-Albani dalam kitabnya Hajjah An-Nabi (hal. 103) berkata, "Hendaknya diketahui bahwa bahaya bid'ah itu tidak pada satu tingkatan, tetapi dalam beberapa tingkatan. Sebagiannya ada yang sampai kepada kesyirikan dan kekafiran yang nyata, dan sebagian yang lain di bawah itu, tetapi wajib kita ketahui bahwa bid'ah terkecil yang dilakukan seseorang dalam agama adalah haram dan tidak seperti anggapan sebagian orang, bahwa bid'ah hanya sampai pada tingkatan makruh saja.

Oleh karena itu, bid'ah adalah sesuatu yang sangat berbahaya, tetapi sayang hanya sekelompok ulama saja yang mengetahuinya, sedang kebanyakan manusia lalai darinya. Cukup sebagai dalil tentang bahaya bid'ah adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Sesungguhnya Allah menolak taubat setiap pelaku bid'ah hingga dia meninggalkan bid'ahnya. ". (HR. At-Thabrani).[Ad-Dhiya' Al-Maqdisi dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah, dan lain-lain dengan sanad dan dinyatakan hasan oleh Al-Mundziri. Dan lihat Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah No. 1620.]

Kesimpulannya, bahwa setiap amal yang tidak mengikuti Sunnah maka tidak akan mendekatkan pelakunya kepada Allah, bahkan akan semakin menjauhkannya dari Allah. Sebab Allah memerintahkan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya dengan ketentuan yang telah diperintahkan-Nya dan tidak berdasarkan akal dan hawa nafsu.[Madarij As-Salikin: 1/84]

Bantahan terhadap Syubhat (Salah Paham).

Abdullah Al-Ghumari dalam bukunya yang tidak sesuai dengan namanya, ltqan Ash-Shan'ahfi TahqiqMa'na Al-Bid'ah (hal 22), menyebutkan hadits,

"Barangsiapa yang membuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka ia tertolak." [Ini adalah satu dari dua riwayat dalam hadits ini]

Lalu dia berkata, "Hadits ini mengkhususkan dan menjelaskan maksud hadits,

"Setiap bid'ah adalah sesat"

Sebagaimana tampak dan jelas. Sebab jika semua bid'ah sesat tanpa pengecualian, niscaya hadits itu mengatakan,



Newer Post Older Post Home

0 comments: